Let’s Talk with PERSI Seri 4: Kesiapsiagaan RS Saat Bencana, Upaya Pertahankan Layanan

Penyelenggaraan diskusi Let’s Talk with PERSI seri ke-4 yang diselenggarakan pada Jumat, 28 November 2025 yang mengangkat topik Kesiapan RS di Indonesia dalam Menghadapi Bencana, berkorelasi dengan bencana yang tengah terjadi di wilayah Sumatra. Terlebih, salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Dr. dr. Azharuddin, Sp.OT, Subsp. O.T. B (K), merupakan Ketua PERSI dan Ketua MAKERSI serta Ketua Program Studi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Aceh.

Prof. Azharuddin juga anggota Kompartemen Manajemen Penunjang dan Tanggap Bencana PERSI Pusat. Selain itu, hadir pula pengurus kompartemen lainnya yaitu dr. Hendro Wartatmo SpB, subspes.BD(K), serta Dr.dr. Khalid Saleh, SpPD-KKV, FINASIM, Mkes, FISQua. Diskusi yang diselengggarakan melalui Webinar dan YouTube PERSI Pusat secara langsung itu juga menghadirkan Wakil Ketua 1 PERSI dr. R. Koesmedi Priharto, Sp.OT, M.Kes. sebagai moderator.

Prof. Azharuddin menjelaskan, resiliensi adalah kemampuan satu fasilitas kesehatan untuk mempertahankan atau memulihkan fungsi-fungsi esensialnya dengan cepat di tengah bencana. Lima konsep resiliensi dalam konteks rumah sakit dan kebencanaan yaitu: pertama, rumah sakit harus tetap berfungsi dalam kondisi normal maupun bencana. Kedua, infrastruktur dan sistem harus aman. Jika salah satu pilar lemah, rumah sakit tidak dapat beroperasi saat bencana.

Ketiga, manajemen harus kuat: dokumen, standar, terdapat hospital disaster plan serta incident command system, koordinasi, hingga simulasi bencana dua kali setahun agar tidak gagap. Keempat, memiliki cadangan SDM dan logistik seperti obat-obatan. Kelima, harus siap untuk multihazard: bencana alam, kebakaran, ancaman teknologi seperti IT down, dan lainnya.

“Rumah sakit harus mampu beradaptasi dan pulih cepat. Mengapa harus punya konsep tangguh bencana? Karena Indonesia daerah rawan bencana. Misalnya di Aceh, banjir yang terjadi beberapa hari ini adalah yang terbesar dalam 30 tahun, memutus akses jalan nasional. Kita berada di ring of fire sehingga potensi bencana sangat tinggi,” kata Prof. Azharuddin.

Prof. Azharuddin menegaskan, dampak bencana pada rumah sakit sangat besar. Jika gedungnya rusak akibat gempa, rumah sakit tidak layak beroperasi. Sehingga diperlukan mitigasi seperti rumah sakit lapangan agar layanan tidak berhenti.

“Gempa Palu 2018, dan pandemi COVID-19 2020–2022 memberi banyak pelajaran tentang kesiapan kita. Kesiapsiagaan bukan hanya syarat akreditasi, tetapi untuk mempertahankan layanan sehari-hari.”

Kemenkes, lanjut Prof. Azharuddi,n juga sudah mengatur Safe Hospital Guideline 2024, termasuk hospital disaster plan yang komprehensif: siapa melakukan apa, layanan emergency, pemindahan pasien, dan sebagainya. Persiapan mencakup SDM, material, dan pembiayaan—siapa yang menanggung layanan medis maupun kerusakan infrastruktur.

Prof. Azharuddin mencontohkan RS Zainoel Abidin Aceh: rumah sakit rujukan provinsi itu rutin melakukan simulasi gempa, kebakaran, evakuasi pasien, melibatkan direktur, kadinkes, dan IDI. Pelatihan penting, tapi simulasi harus realistis. Penilaian juga penting: apakah IGD cukup besar, ada area terbuka, koridor untuk perawatan tambahan, jalur evakuasi jelas, dan lainnya.

“Kesiapan infrastruktur jugapenting: kekuatan bangunan terhadap gempa, kebakaran, banjir. Banyak rumah sakit bertingkat tidak memiliki ramp, sehingga evakuasi pasien sulit jika listrik padam atau kebakaran. Rumah sakit harus tahu jalur evakuasi, ruang isolasi, zona aman bencana, dan mitigasi gempa susulan.”

Prof. Azharuddin juga membagikan pengalamannya terkait kesiapan logistik, bekerja sama dengan BNPB dan BPBD, yang memiliki tenda dan perlengkapan. Kesiapan klinis seperti triase (hijau, kuning, merah) memudahkan penanganan korban massal. Komunikasi harus real time agar koordinasi cepat. Setelah bencana ada fase pemulihan, rehabilitasi, evaluasi, dan revisi rencana.

“Yang terpenting: jangan sombong atau overconfident. Jangan bilang di sini tidak akan terjadi bencana”. Bencana tidak mengenal waktu dan tempat. Contoh di Pidie Jaya: pada 2016 mereka terdampak gempa, sekarang banjir. Sebanyak 95% nakes terdampak sehingga layanan lumpuh. Banda Aceh harus mengirim dokter spesialis untuk menjaga layanan emergency tetap berjalan.” (IZn – persi.or.id)