Diskusi Interaktif Public Relation RS; Sabtu, 3 Februari 2018 dengan Topik : “Rahasia Medis vs Keterbukaan Informasi: Dalam Perspektif Hukum, Etika dan Komunikasi”

Reportase
Diskusi Interaktif Public Relation RS
3 Februari 2018
Rahasia Medis vs Keterbukaan Informasi: Dalam Perspektif Hukum, Etika dan Komunikasi

Penyelenggara: Kompartemen Humas Marketing PERSI bekerjasama dengan PERHUMASRI (Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia)

Diskusi yang diselenggaraan di Auditorium Universitas Yarsi Jakarta pada Sabtu, 3 Februari ini dibuka oleh Ketua Umum PERSI Pusat. Dr. Kuntjoro A. Purjanto, MKes menyatakan kegembiraannya dengan adanya perhelatan seperti ini karena dapat meningkatkan kapasitas RS yang akhir-akhir ini semakin banyak disorot oleh public. Untuk meningkatkan citra RS Indonesia di dunia internasional, PERSI juga memfasilitasi penyusunan abstrak penelitian ke International Hospital Federation (IHF) Conference yang rencananya akan diselenggarakan di Brisbane, Australia pada Oktober mendatang. Sudah ada 29 abstrak yang masuk dari seluruh Indonesia, diharapkan cukup banyak yang lolos seleksi agar dapat dipresentasikan pada acara bergengsi tersebut.

Tingginya animo masyarakat perhumasan rumah sakit jauh melebihi daya tampung ruangan. Agar dapat diikui oleh lebih banyak orang, maka diskusi ini ditayangkan juga melalui webinar yang disupport oleh Pusat Data PERSI. Dengan webinar, peserta dapat mengikuti diskusi ini dari mana saja, termasuk yang berada di luar kota Jakarta, bahkan bisa ikut mengajukan pertanyaan bagi narasumber diskusi.

Diskusi yang dimoderatori oleh Anjari Umarjiyanto (Humas Kementerian Kesehatan, Kompartemen Humas dan Marketing PERSI) ini menghadirkan narasumber dari KOmpartemen Hukum PERSI, MAKERSI, dan praktisi humas RS. Narasumber pertama pada diskusi ini adalah M. Luthfie Hakim, SH, MH (Komp Hukum PERSI). Menurut Luthfie, pasien harus menghormati ketentuan dalam RS, termasuk larangan memotret. Semua orang yang ada di RS wajib menyimpan rahasia kedokteran oleh semua pihak yang terlibat. Identitas, kesehatan, hal-hal lain yang berkenaan dengan pasien, semua informasi mulai dari tempat pasien di rujuk, semua apa yang terjadi pada pasien sampai ke RS rujukan semuanya rahasia.

Namun Lufhtie juga menyatakan bahwa tidak semua pemotretan itu dilarang. Misalnya pasien boleh mendokumentasikan proses kelahiran anaknya dengan seijin RS, bahkan banyak RS yang memfasilitasi proses ini. Yang tidak diperbolehkan adalah ketika rekaman sudah menyentuh sisi ketidakpercayaan pada RS/tenaga kesehatan. Perekaman yang menyebabkan rahasia pasien terungkap ke publik. Pasien yang sedikit-sedikit merekam perlu direspon sebagai pihak yang trus-nya kepada RS/petugas dipertanyakan. Dalam kondisi ini, RS boleh menghentikan pelayanan pada pasien.

Jadi Luthfie menegaskan bahwa RS dapat menolak melanjutkan pelayanan pada pasien saat: 

  1. Pasien sudah melakukan tindakan yang sifatnya intimidasi
  2. Sudah mulai ada tindakan kekerasan fisik pada petugas
  3. Sudah mengganggu kepercayaan,

RS/dokter juga membutuhkan pasien/keluarga merasa nyaman, namun jika berlebihan dalam bentuk perekaman yang menunjukkan rasa tidak percaya atau annoying, maka RS/tenaga kesehatan bisa menolak. Luthfie menyarankan RS untuk memasang layar di beberapa titik berisi penjelasan mengapa merekam di lingkungan RS itu dilarang, yaitu mengganggu kenyamanan pasien dan tenaga medis. RS sebaiknya menerapkan prinsip dimana perekaman di lingkungan RS boleh dilakukan namun terbatas dan harus dengan ijin.

Menurut Dr. dr. Sintak Gunawan, MA (Makersi PERSI) , ada informasi medis yang tidak perlu dirahasiakan, yaitu informasi yang sifatnya tidak privat. Contohnya saat petugas RS berada di ruang publik, atau keluarga pasien berada di ruang publik. Namun jika ada keluarga pasien hendak memotret dan disebelahnya ada petugas admin RS, pemotret harus bertanya terlebih dahulu pada petugas tersebut apakah bersedia difoto. Demikian juga jika keluarga pasien melakukan swafoto, yang bersnagkutan harus meminta ijin pada semua orang yang tertangkap kameranya jika foto tersebut akan dipublikasi (misalnya di media sosial), meskipun terfotonya tidak sengaja.

Di RS ada pembagian zona, dimana ada zona untuk ruang privat (kamar perawatan, OK, ICU, dan sebagainya), zona semi publik (misalnya ruang poliklinik, farmasi) dan dan zona public (lobby, kantin, tempat parkir dan sebagainya). Namun bagaimanapun juga rahasia kedokteran dapat dibuka untuk kepentingan tertentu, misalny auntuk penelitian, kegiatan pendidikan (diman aada kamera dipasang di ruang OK), dan keselamatan pasien (misalnya cctv untuk ruang bayi dan kaca tembus pandang untuk bangsal lansia).

Kesimpulan
Kita tidak bisa hany amemandang dari satu perspektif saja terkait dengan masalah rahasia medis dan keterbukaan informasi, misalnya hukum saja. Ada masalah lain yang perlu diperhatikan yaitu era keterbukaan. Sekarang saatnya RS perlu menginformasikan hal itu kepada pasien dan keluarganya di RS, sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat.

Ada beberapa landasan hokum terkait dengan perekaman, misalnya UU RS No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Permenkes tentang Rahasia Kedokteran, Permenkes tentang kewajiban RS dan pasien dan sebagainya. RS dapat merespon berbagai aturan dan kebijakan tersebut dengan cara:

  1. membuat pengumuman yang dipasang di lingkungan RS, mengenai boleh tidaknya merekam;
  2. perekaman itu harus seijin RS, sebab ada area yg sama sekali tidak boleh merekam dan ada yang boleh.
    Ada hak publik yang harus diperhatikan. Secara etika, mengambil gambar harus seijin orang-orang yang ter-capture dalam gambar tersebut. (pea)


Materi: