Kasus Stunting pun Bisa Terjadi pada Keluarga Urban

Jakarta – Jangan salah, stunting atau pertumbuhan tidak maksimal pada anak, sebagai akibat gizi buruk, tidak hanya terjadi pada keluarga miskin. Anak yang dibesarkan berkecukupan pun tak bebas risiko.

“Asupan gizi bisa tidak sampai kepada anak, salah satunya karena kurangnya perhatian orang tua,” kata Fasli Jalal, mantan Kepala BKKBN, dalam diskusi Bibit Unggul Untuk Indonesia Hebat: Mencegah Stunting Meningkatkan Daya Saing Bangsa,” yang menghadirkan Millennium Challenge Account (MCA) – Indonesia. Selain Fasli, hadir pula Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Sri Enny Hartati, Direktur Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM) MCA-Indonesia Iing Mursalin, dan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho.

“Indonesia menempati peringkat kelima negara stunting pada anak yang disebabkan kurangnya perhatian orang tua terhadap asupan gizi anak, sanitasi buruk, serta yang paling penting adalah masih lambatnya penanganan infeksi pada anak,” ujar Fasli.

Persoalan stunting, kata fasli, dialami 47 negara, termasuk Indonesia. Indikatornya, Indonesia masih mengacu berat badan berbanding dengan usia, sedangkan PBB menggunakan acuan SUN (Scalling Up Nutrition) yang dihitung saat masih janin dalam kandungan ibu.

“Yang patut diwaspadai bukanlah persoalan berat badan, akan tetapi pertumbuhan sel otak yang berpengaruh terhadap kecerdasan anak, serta mempercepat munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, stroke, dan lain sebagainya.”

Ia mengingatkan, keluarga modern, yang sebanarnya mampu memasok gizi yang baik pada anaknya, banyak menyerahkan pengasuhan anak kepada pekerja rumah tangga tanpa memperhatikan asupan gizi anak karena sibuk bekerja.

Pemicu lainnya, stunting dipicu buruknya sanitasi yang membuat anak cacingan sehingga membuat asupan gizi tidak sampai tubuh. Terakhir, infeksi, karena semakin demam, maka gizi di dalam tubuh anak semakin berkurang, ditambah lagi anak sulit makan selama sakit.

Solusinya, kata Fasli, mengubah pola perilaku pengasuhan anak serta kampanye gaya hidup sehat serta imunisasi. “Jika persoalan ini terlambat diantisipasi, akan menimbulkan kerugian ekonomi 30-40 miliar dolar AS untuk biaya pengobatan, anggaran BPJS Kesehatan bisa jebol kalau harus menutup biaya ini,” kata Fasli yang juga Dewan Pembina Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI).

Program penurunan kejadian stunting menargetkan, angka prevalensi pada anak usia di bawah dua tahun, dari 37% pada 2013 menjadi 28% pada 2019. Salah satunya, dengan kampanye 1.000 hari pertama kehidupan, yang dimulai sejak masih janin hingga usia dua tahun.

Salah satu pemacu gerakan ini adalah studi Grantham-McGregor pada 2017 yang memaparkan, anak yang mengalami stunting berpotensi memiliki penghasilan lebih rendah 20% dibandingkan anak yang tumbuh optimal. Sementara, dampaknya bagi negara menurut UNICEF, PDB turun 3%.

Sementara, Direktur INDEF, Sri Enny Hartati, mengungkapkan, tingginya kasus stunting di Indonesia sangat memprihatinkan, karena sebagai negara agraris kebutuhan pangan seharusnya sudah terpenuhi tanpa harus impor, berbeda dengan negara-negara dengan lahan pertanian terbatas seperti Jepang dan Singapura.

“Persoalan gizi buruk ini menjadi lingkaran yang saling berkait seperti kesejahteraan masyarakat, peluang pekerjaan, rendahnya pendidikan, daya saing.” (IZn – pdpersi.co.id)